Pada masa tahun 1950-an Brigade Mobil (Brimob) merupakan tulang
punggung utama Polri bersama dengan kesatuan Perintis sebagai kesatuan
pelapisnya. Pada masa itu, pendidikan Brimob di berbagai Sekolah Polisi
Negara (SPN) mempunyai materi dasar-dasar kemiliteran dan infanteri.
Pendidikan dasar berupa teknik bertempur level peleton, menembak ahli
dan gerakan tempur mulai regu sampai dengan batalyon diajarkan.
Pendidikan menjadi tamtama Brigade Mobil memerlukan waktu 13 bulan,
bandingkan dengan pendidikan tamtama TNI AD waktu itu yang hanya
memerlukan waktu 4 bulan. Konsekuensinya jumlah kompi Brimob yang ada
pada waktu itu juga tidak cukup untuk mengatasi konflik bersenjata di
daerah. Hal ini yang kemudian memunculkan ide membentuk pasukan khusus
untuk keamanan dalam negeri dengan kualifikasi lebih tinggi dari Brimob.
Pada
tahun 1950-an ada beberapa perwira Polri dari Mobile Brigade (Brimob)
yang mendapatkan kursus infanteri lanjut di Fort Lavenworth dan Fort
Bragg di Amerika Serikat. (Pour, 2007, h 78). Diantara mereka adalah
Inspektur Anton Soedjarwo. Mereka mendapatkan pendidikan infanteri
karena presiden Soekarno memang sengaja tidak mengirim ”para pesaing”nya
dari perwira Angkatan Darat. Kebetulan para perwira yang mendapatkan
pendidikan di AS itu adalah mantan Tentara Pelajar (TP) sehingga
presiden Soekarno mempunyai argumen kuat untuk mengirimkan para perwira
Polri tersebut.
Brigade Mobil juga mendapatkan ”berkah” dari aksi
permintaan maaf oleh pemerintah Amerika Serikat ini. Pada bulan Januari
1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata
kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira
polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen
pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob
Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira
polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.
Pasukan Ranger
dari Brigade Mobil ini dibentuk untuk mengatasi pemberontakan bersenjata
dalam negeri. Meskipun instruktur pelatihan Ranger ini sebagian besar
dari marinir AS di Okinawa namun pola latihan mereka merupakan gabungan
dari Ranger AD AS dan pasukan Recon USMC (United States Marine Corps).
Selain mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brigade
Mobil (saat itu namanya berubah menjadi Pelopor) mendapatkan bantuan
senjata senapan serbu AR 15 yang merupakan versi awal atau versi
non-militer dari M 16 A1. Pasukan Menpor adalah salah satu pengguna
pertama senjata ini, bahkan pada saat itu pasukan reguler batalyon
Infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer masih menggunakan senjata M 1 Garrand.
Sejak awal pembentukan korps Kepolisian Republik Indonesia memang lebih dekat perannya sebagai combatant
daripada sebagai polisi sipil. Kondisi masa perjuangan waktu itu,
menyebabkan polisi harus terlibat langsung dalam perjuangan bersenjata.
Keterlibatan polisi sebagai combatant dipelopori oleh satu kompi Polisi Istimewa pimpinan Inspektur Polisi M Jassin dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Pada
masa itu Polisi Istimewa merupakan sebuah korps kepolisian bentukan
Jepang dengan persenjataan lengkap. Namun karena kekosongan pemerintahan
pasca penyerahan Jepang pada Sekutu tahun 1945, peran Polisi Istimewa
lebih berperan sebagai pasukan pertahanan. Selanjutnya pada tahun
tanggal 14 November 1946, PM Syahrir meresmikan korps Polisi Istimewa
menjadi korps Mobile Brigade, sebagai bagian dari Polri dengan fungsi
sebagai combatant karena kebutuhan pertahanan waktu itu. Tanggal 14 November ini selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Korps Brigade Mobil.
Pada
peristiwa pemberontakan di daerah-daerah pada dekade 50-an,kompi-kompi
Brigade Mobil banyak dikerahkan untuk meredamnya. Namun demikian, lawan
yang mereka hadapi adalah para mantan pejuang dengan kemampuan tinggi
dalam melakukan perang gerilya. Kebanyakan kompi Brimob yang dikerahkan
untuk memadamkan pemberontakan adalah para prajurit yunior yang belum
mengalami pertempuran gerilya.
Pemberontakan Batalyon 426 yang
berkedudukan di Magelang dan Kudus karena pengaruh unsur DI/TII pada
tahun 1951 adalah gerakan pemberontakan yang cukup serius. Pemberontakan
ini dipimpin oleh Kapten Sofyan dan Kapten Alif. Batalyon ini merupakan
TNI reguler yang mempunyai pengalaman dalam perang gerilya melawan
Belanda. Gerakan pasukan ini sampai dengan wilayah Klaten dan
Karanganyar. Pasukan pemberontak berkedudukan di Pedan, Klaten. Pasukan
Mobile Brigade (Brimob) juga terlibat dalam penghadangan pemberontak,
namun karena mereka kalah pengalaman dalam pertempuran hutan, banyak
anggota Brimob dari Surakarta yang menjadi korban.
Pada waktu itu
senjata perorangan yang dipergunakan pasukan Brimob cukup memadai untuk
menjadi pasukan infanteri karena mereka menggunakan senapan Lee Enfield. Senjata laras panjang buatan Inggris yang biasa dipergunakan pasukan infanteri. Senapan dengan sistem bolt action
ini menjadi andalan Brimob untuk menghadang musuh. Pasukan pemberontak
sebagian besar juga menggunakan senjata yang sama, namun demikian sekali
lagi pasukan Brimob pada masa itu belum dibekali dengan pengetahuan
perang anti gerilya, sehingga mereka tidak mampu menghadang pemberontak.
Pasukan pemberontak berani melakukan serbuan (raid)
ke kota untuk melakukan pengacauan. Beberapa pemberontak DI/TII di
wilayah Tegal-Brebes pimpinan Amir Fatah seringkali berani menyerang
markasi polisi atau asrama polisi di kota. Pada umumnya mereka menyerang
markas polisi yang dijaga satuan-satuan Perintis. Satuan-satuan
Perintis tersebut hanya mampu bertahan di dalam markas dengan tujuan
utama mempertahankan markasnya. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
mengejar musuh dan melakukan serangan balasan, atau bahkan menangkap
mereka sesuai dengan tugas sebagai polisi di masa itu. Hal ini yang
mendorong para petinggi Polri dan pemerintah di masa itu untuk membentuk
unit pasukan khusus di dalam Polri yang mempunyai kemampuan melakukan
siasat perang anti gerilya.
Hal ini yang melatarbelakangi
pembentukan pasukan Ranger Brigade Mobil. Masalahnya adalah bagaimana
mendidik prajurit Brimob menjadi seorang Ranger dengan keahlian
pertempuran hutan, pergerakan tempur yang cepat dan kemampuan melakukan
pertempuran jarak dekat. Selanjutnya pihak DKN (Dinas Kepolisian
Negara)/Mabes Polri yang melakukan inventarisasi kebutuhan untuk
membentuk pasukan khusus untuk menangani pemberontakan bersenjata di
dalam negeri.
BRIGADE
(sumber : MataPadi pressindo)
No comments:
Post a Comment